Hari itu aku sedang berusaha menghabiskan
makan siangku di kantin tempat aku bekerja. Suasana penuh sesak memadati seisi ruangan. Sesaat sebelum ku habiskan sepiring porsi makan siangku, pandanganku tiba-tiba tertuju pada sebuah layar televisi
di pojok kantin. TV itu tengah menyiarkan berita tentang hewan qurban. Aku terdiam sesaat. Sudah
berapa kali ku lewatkan hari raya Idhul Adha untuk pulang ke kampung halaman. Aku teringat seganya tentang kampungku. Aku kangen tempat itu. Aku ingin
pulang.
Aku menuju ke
ruangan Pak Bondan, atasanku di kantor, setelah itu. Aku meminta izin cuti pada beliau. Tak
diduga pengajuan cuti ku dikabulkan oleh beliau. Beliau tak biasanya
mengabulkan permintaan cuti semudah ini
karena beliau sangat disiplin dan tegas. Mungkin ini hari keberuntunganku, pikirku.
Sepulang dari kantor, aku menghubungi keluargaku di kampung. Aku mengabarkan
pada mereka bahwa aku akan pulang lusa pas hari raya Idhul Adha. Tapi rupanya Ibuku tidak begitu senang
tentang kabar kepulanganku. Beliau berkata
“ini kan Idhul Adha, kau tak mudik
juga tidak apa – apa. Yang penting kau baik – baik disana”.
Tapi
tekadku sudah bulat, aku harus pulang. Aku sangat merindukan suasana Idhul Adha disana. Suasana Idhul Adha disana
sangat terasa kebersamaan antar warganya. Seperti dalam kegiatan penyembelihan,
pembagian daging dan sebagainya. Beda sekali dengan di Jakarta ini jangankan
menyapa tetangga, tahu nama tetangga saja tidak. Miris.
Keesokan harinya aku berangkat ke
kantor lebih awal, aku menargetkan pekerjaanku hari ini sampai 2 hari ke depan
harus bisa aku selesaikan. Aku tak peduli sekalipun aku harus lembur sampai
larut. Tak terasa jam sudah menujukkan pukul 23.00 wib. Suasana kantor yang
tadinya ramai kini berubah mencekam. Sejenak aku memutarkan pandanganku ke
penjuru ruangan, hanya ada beberapa office
boy yang sedang sibuk mengumpulkan cangkir – cangkir dari meja karyawan.
Yes! Akhirnya selesai.
Angin yang bertiup dipagi buta
menusuk sampai ke tulangku, waktu menunjukkan pukul 04.00 wib pagi. Ayam sudah
mulai berkokok. Selepas sholat shubuh aku mulai mengemasi pakaianku. Ya, hari
ini aku akan meninggalkan Jakarta untuk 2 hari. Cirebon here I come! Aku sengaja berangkat pagi – pagi sekali agar sampai
disana tidak terlalu siang. Pukul 05.00 wib pagi aku sudah berada di stasiun
Gambir. Aku membeli tiket kereta keberangkatan jam 6 pagi. Ada waktu 1 jam, aku
manfaatkan untuk sarapan. Sarapanku pagi ini adalah semangkuk mie rebus dan
segelas teh hangat.
Tepat pukul 06.00 wib kereta
berangkat menuju Cirebon. Aku duduk di kursi yang bernomor sama dengan tiketku.
Setelah menemukan posisi duduk yang nyaman aku memutuskan untuk tidur. Tiba –
tiba handphone ku berdering. Ku lihat
jam tanganku waktu menunjukkan pukul 07.30 wib. Nama Pak Bondan berkedip –
kedip dilayar, aku pun langsung mengangkatnya. Beliau mengatakan, beberapa
dokumen yang telah aku selesaikan hilang dan beliau tak mau tahu aku harus
segera ke kantor. Perasaanku campur aduk. Panik, kesal, jengkel semua melebur
jadi satu. Ada apa ini? Aku yakin telah menyelesaikan semua dengan baik dan
menaruhnya rapih diatas meja kerja.
Di stasiun berikutnya aku turun dan
menumpang sebuah kereta jurusan Jakarta. Aku tertunduk. Dalam hatiku berkata
“pupus sudah harapanku untuk pulang ke Cirebon pada Idhul Adha kali ini”.
Setibanya dikantor , aku langsung menuju ke meja kerjaku dan mulai mencari
disetiap sudut meja. Dokumen itu tidak aku temukan. Aku gelisah dan semakin
panik. Ditengah kepanikanku, Fasya, salah satu rekan kerjaku dikantor mencoba
menenangkanku.
“Disya, coba kau ingat – ingat,
terakhir kamu menaruh dokumen itu dimana?”
Tanya
Fasya pelan – pelan. Aku berfikir keras dan mencoba mengingat – ingat .
“Dokumen – dokumen itu aku letakkan
disamping vas bunga. Aku tak habis pikir kenapa bisa hilang?” jawabku mecoba
menjelaskan.
“Waktu terakhir kamu meletakkan
dokumen itu kapan dan ada siapa saja di ruangan ini?” Tanya Fasya lagi.
“Aku meletakkan dokumen itu tadi
malam sekitar pukul 23.00 wib. Kantor sudah sepi. Hanya ada beberapa office boy yang sedang mengumpulkan
cangkir – cangkir dari meja karyawan” aku menjelaskan kronologis kejadiannya.
“Office
boy? Pak gugun?” Tanya Fasya.
“Iya ada pak gugun juga” jawabku.
Kemudian
Fasya memanggil pak Gugun.
Pak Gugun
datang dengan tergopoh – gopoh.
“Ada apa mbak Disya?” .
kemudian aku menjelaskan kronologis
kejadiannya dan pak gugun pun mulai menceritakan kejadian yang terjadi semalam
“Yang saya ingat, malam itu setelah
mbak Disya pulang, kantor ini listriknya padam dan saya tidak sengaja
menyenggol tumpukan dokumen disalahsatu meja hingga jatuh ke lantai. Karena waktu itu gelap gulita saya menaruh
dokumen – dokumen itu begitu saja di salahsatu meja. Mungkin dokumen – dokumen
itu yang mbak cari?” pak gugun menjelaskan panjang lebar.
“Bisa jadi pak ! Intinya dokumen –
dokumen itu masih diruangan ini?” tanyaku antusias.
Kemudian
aku, fasya dan pak gugun kembali mencari dokumen – dokumen itu. Akhirnya
dokumen – dokumen itu ditemukan. Dokumen itu ditemukan di meja kerja mbak
Astari, salah satu karyawati yang sedang cuti melahirkan. Letak mejanya
bersebelahan dengan meja kerjaku. Legaaaaaaaaaa banget. Setelah aku
berterimakasih pada pak Gugun dan Fasya, aku langsung menyerahkan dokumen –
dokumen itu pada Pak Bondan. Dan beliau sekali lagi mengizinkanku untuk cuti.
Hari itu juga aku kembali ke stasiun Gambir dan menaiki kereta tujuan
Cirebon. Sudah terbayang olehku suasana Idhul Adha disana. Aku melihat ke luar
jendela sambil tesenyum – senyum sendiri. 4 jam berlalu akhirnya aku sampai di
Stasiun Kejaksan Cirebon. Stasiun ini sudah banyak berubah. Lebih tertata,
lebih bersih dan lebih rapih. Tidak kalah dengan stasiun Gambir. Aku melihat
jam tanganku, waktu menunjukkan pukul 15.30 wib. Sudah masuk Ashar pikirku. Aku
mencegat becak dan menuju ke Masjid At-Taqwa, masjid besar di Cirebon untuk
menunaikan sholat ashar. Letaknya tidak terlalu jauh dari stasiun Kejaksan.
Aku pulang menaiki sebuah taksi.
Saat sampai di jalan di sekitar rumahku ternyata macet. Aku bisa dengan mudah
menebak sumber kemacetan tersebut. Pasti karena di alun – alun desa sudah banyak
hewan qurban dan banyak orang yang datang kesana. Asal tahu saja, desaku itu
katanya tempat penyembelihan hewan qurban terbesar Se-Kabupaten Cirebon.
Hari Idhul Adha yang kunanti pun
akhirnya tiba. Sungguh indah fajar Idhul Adha. Pukul 09.00 wib pagi alun – alun sudah ramai
pertanda penyembelihan hewan qurban akan dimulai. Tahun ini tercatat 18 ekor
sapi dan 104 ekor kambing yang terkumpul. Subhanallah banyak sekali. Aku dan
beberapa orang kawanku menuju ke tempat penyembelihan sapi. Ya, sudah tradisi
bagi kami setiap Idhul Adha tiba pasti kami melihat penyembelihan sapi.
Walaupun sebenarnya ada rasa ngeri dan tak tega. Cuaca pagi itu cukup
bersahabat, matahari bersinar tidak terlalu terik. Sapi pun satu – persatu
mulai disembelih. Dalam kerumunan warga yang menyaksikan proses penyembelihan
ada beberapa wartawan TV swasta terkenal dan beberapa wartawan radio dan Koran
lokal.
“Wah terkenal juga ternyata desaku
ini” celetukku.
Karena terlalu lama berdiri dan rasa
pegal sudah terasa kami memutuskan untuk meninggalkan tempat ‘pembantaian’ itu.
Kami beristirahat di balkon lantai dua masjid, tak jauh dari alun – alun.
Sesekali melihat sapi – sapi yang belum disembelih di alun – alun. Ketika kami
sedang asyik mengobrol tiba – tiba kami mendengar teriakan “Awas sapi ucul!”
yang dalam bahasa Indonesia berarti Sapi yang terlepas dari ikatannya. Kami pun mengarahkan pandangan kami ke alun-
alun. Benar saja seekor sapi berlari menerjang apa saja yang ada dihadapannya
kemudian sapi itu berlari menuju ke jalan raya sampai hilang tak terlihat lagi.
Untunglah beberapa panitia akhirnya berhasil menangkap kembali sapi tersebut.
Kami turun dari balkon dan memutuskan untuk pulang. Tapi tiba – tiba pandanganku
tertuju pada sebuah pohon beringin disamping alun – alun. Aku teringat 10 tahun
yang lalu. Aku pernah terjatuh karena menyandung akar dari pohon beringin itu.
Waktu itu usiaku masih 10 tahun. Tepat pada hari raya Idhul Adha. Waktu itu ada
seekor kambing yang terlepas dari ikatan, semua anak berlari menjauh dari
kambing tersebut begitu pula aku. Sayangnya, aku menyandung akar pohon beringin
yang mencuat keluar tersebut dan “gubraaaaak” aku terpelanting dan siku ku
tergores sangat keras. Bekas lukanya pun sampai sekarang masih ada dan bekas
luka inilah yang selalu mengingatkanku tentang indahnya Idhul Adha di desaku.
0 komentar:
Posting Komentar