RSS

[Cerpen] Idhul Adha dan Bekas Luka



Hari itu aku sedang berusaha menghabiskan  makan siangku di kantin tempat aku bekerja. Suasana penuh sesak memadati seisi ruangan. Sesaat sebelum ku habiskan sepiring porsi makan siangku, pandanganku tiba-tiba tertuju pada sebuah layar televisi di pojok kantin. TV itu tengah menyiarkan berita tentang hewan qurban. Aku terdiam sesaat. Sudah berapa kali ku lewatkan hari raya Idhul Adha untuk pulang ke kampung halaman. Aku teringat seganya tentang kampungku. Aku kangen tempat itu. Aku ingin pulang.
            Aku menuju ke ruangan Pak Bondan, atasanku di kantor, setelah itu. Aku meminta izin cuti pada beliau. Tak diduga pengajuan cuti ku dikabulkan oleh beliau. Beliau tak biasanya mengabulkan permintaan cuti  semudah ini karena beliau sangat disiplin dan tegas. Mungkin ini hari keberuntunganku, pikirku. Sepulang dari kantor, aku menghubungi keluargaku di kampung. Aku mengabarkan pada mereka bahwa aku akan pulang lusa pas hari raya Idhul  Adha. Tapi rupanya Ibuku tidak begitu senang tentang kabar kepulanganku. Beliau berkata
            “ini kan Idhul Adha, kau tak mudik juga tidak apa – apa. Yang penting kau baik – baik disana”.
Tapi tekadku sudah bulat, aku harus pulang. Aku sangat merindukan suasana  Idhul Adha disana. Suasana Idhul Adha disana sangat terasa kebersamaan antar warganya. Seperti dalam kegiatan penyembelihan, pembagian daging dan sebagainya. Beda sekali dengan di Jakarta ini jangankan menyapa tetangga, tahu nama tetangga saja tidak. Miris.
            Keesokan harinya aku berangkat ke kantor lebih awal, aku menargetkan pekerjaanku hari ini sampai 2 hari ke depan harus bisa aku selesaikan. Aku tak peduli sekalipun aku harus lembur sampai larut. Tak terasa jam sudah menujukkan pukul 23.00 wib. Suasana kantor yang tadinya ramai kini berubah mencekam. Sejenak aku memutarkan pandanganku ke penjuru ruangan, hanya ada beberapa office boy yang sedang sibuk mengumpulkan cangkir – cangkir dari meja karyawan. Yes! Akhirnya selesai.
            Angin yang bertiup dipagi buta menusuk sampai ke tulangku, waktu menunjukkan pukul 04.00 wib pagi. Ayam sudah mulai berkokok. Selepas sholat shubuh aku mulai mengemasi pakaianku. Ya, hari ini aku akan meninggalkan Jakarta untuk 2 hari. Cirebon here I come! Aku sengaja berangkat pagi – pagi sekali agar sampai disana tidak terlalu siang. Pukul 05.00 wib pagi aku sudah berada di stasiun Gambir. Aku membeli tiket kereta keberangkatan jam 6 pagi. Ada waktu 1 jam, aku manfaatkan untuk sarapan. Sarapanku pagi ini adalah semangkuk mie rebus dan segelas teh hangat.
            Tepat pukul 06.00 wib kereta berangkat menuju Cirebon. Aku duduk di kursi yang bernomor sama dengan tiketku. Setelah menemukan posisi duduk yang nyaman aku memutuskan untuk tidur. Tiba – tiba handphone ku berdering. Ku lihat jam tanganku waktu menunjukkan pukul 07.30 wib. Nama Pak Bondan berkedip – kedip dilayar, aku pun langsung mengangkatnya. Beliau mengatakan, beberapa dokumen yang telah aku selesaikan hilang dan beliau tak mau tahu aku harus segera ke kantor. Perasaanku campur aduk. Panik, kesal, jengkel semua melebur jadi satu. Ada apa ini? Aku yakin telah menyelesaikan semua dengan baik dan menaruhnya rapih diatas meja kerja.
            Di stasiun berikutnya aku turun dan menumpang sebuah kereta jurusan Jakarta. Aku tertunduk. Dalam hatiku berkata “pupus sudah harapanku untuk pulang ke Cirebon pada Idhul Adha kali ini”. Setibanya dikantor , aku langsung menuju ke meja kerjaku dan mulai mencari disetiap sudut meja. Dokumen itu tidak aku temukan. Aku gelisah dan semakin panik. Ditengah kepanikanku, Fasya, salah satu rekan kerjaku dikantor mencoba menenangkanku.
            “Disya, coba kau ingat – ingat, terakhir kamu menaruh dokumen itu dimana?”
Tanya Fasya pelan – pelan. Aku berfikir keras dan mencoba mengingat – ingat .
            “Dokumen – dokumen itu aku letakkan disamping vas bunga. Aku tak habis pikir kenapa bisa hilang?” jawabku mecoba menjelaskan.
            “Waktu terakhir kamu meletakkan dokumen itu kapan dan ada siapa saja di ruangan ini?” Tanya Fasya lagi.
            “Aku meletakkan dokumen itu tadi malam sekitar pukul 23.00 wib. Kantor sudah sepi. Hanya ada beberapa office boy yang sedang mengumpulkan cangkir – cangkir dari meja karyawan” aku menjelaskan kronologis kejadiannya.
            Office boy? Pak gugun?” Tanya Fasya.
            “Iya ada pak gugun juga” jawabku.
Kemudian Fasya memanggil pak Gugun.                                                                                                                                                        Pak Gugun datang dengan tergopoh – gopoh.
            “Ada apa mbak Disya?” .
 kemudian aku menjelaskan kronologis kejadiannya dan pak gugun pun mulai menceritakan kejadian yang terjadi semalam
            “Yang saya ingat, malam itu setelah mbak Disya pulang, kantor ini listriknya padam dan saya tidak sengaja menyenggol tumpukan dokumen disalahsatu meja hingga jatuh ke lantai.  Karena waktu itu gelap gulita saya menaruh dokumen – dokumen itu begitu saja di salahsatu meja. Mungkin dokumen – dokumen itu yang mbak cari?” pak gugun menjelaskan panjang lebar.
            “Bisa jadi pak ! Intinya dokumen – dokumen itu masih diruangan ini?” tanyaku antusias.
Kemudian aku, fasya dan pak gugun kembali mencari dokumen – dokumen itu. Akhirnya dokumen – dokumen itu ditemukan. Dokumen itu ditemukan di meja kerja mbak Astari, salah satu karyawati yang sedang cuti melahirkan. Letak mejanya bersebelahan dengan meja kerjaku.  Legaaaaaaaaaa banget. Setelah aku berterimakasih pada pak Gugun dan Fasya, aku langsung menyerahkan dokumen – dokumen itu pada Pak Bondan. Dan beliau sekali lagi mengizinkanku untuk cuti.
            Hari itu juga aku kembali ke  stasiun Gambir dan menaiki kereta tujuan Cirebon. Sudah terbayang olehku suasana Idhul Adha disana. Aku melihat ke luar jendela sambil tesenyum – senyum sendiri. 4 jam berlalu akhirnya aku sampai di Stasiun Kejaksan Cirebon. Stasiun ini sudah banyak berubah. Lebih tertata, lebih bersih dan lebih rapih. Tidak kalah dengan stasiun Gambir. Aku melihat jam tanganku, waktu menunjukkan pukul 15.30 wib. Sudah masuk Ashar pikirku. Aku mencegat becak dan menuju ke Masjid At-Taqwa, masjid besar di Cirebon untuk menunaikan sholat ashar. Letaknya tidak terlalu jauh dari stasiun Kejaksan.
            Aku pulang menaiki sebuah taksi. Saat sampai di jalan di sekitar rumahku ternyata macet. Aku bisa dengan mudah menebak sumber kemacetan tersebut. Pasti karena di alun – alun desa sudah banyak hewan qurban dan banyak orang yang datang kesana. Asal tahu saja, desaku itu katanya tempat penyembelihan hewan qurban terbesar Se-Kabupaten Cirebon.
            Hari Idhul Adha yang kunanti pun akhirnya tiba. Sungguh indah fajar Idhul Adha.  Pukul 09.00 wib pagi alun – alun sudah ramai pertanda penyembelihan hewan qurban akan dimulai. Tahun ini tercatat 18 ekor sapi dan 104 ekor kambing yang terkumpul. Subhanallah banyak sekali. Aku dan beberapa orang kawanku menuju ke tempat penyembelihan sapi. Ya, sudah tradisi bagi kami setiap Idhul Adha tiba pasti kami melihat penyembelihan sapi. Walaupun sebenarnya ada rasa ngeri dan tak tega. Cuaca pagi itu cukup bersahabat, matahari bersinar tidak terlalu terik. Sapi pun satu – persatu mulai disembelih. Dalam kerumunan warga yang menyaksikan proses penyembelihan ada beberapa wartawan TV swasta terkenal dan beberapa wartawan radio dan Koran lokal.
            “Wah terkenal juga ternyata desaku ini” celetukku.
            Karena terlalu lama berdiri dan rasa pegal sudah terasa kami memutuskan untuk meninggalkan tempat ‘pembantaian’ itu. Kami beristirahat di balkon lantai dua masjid, tak jauh dari alun – alun. Sesekali melihat sapi – sapi yang belum disembelih di alun – alun. Ketika kami sedang asyik mengobrol tiba – tiba kami mendengar teriakan “Awas sapi ucul!” yang dalam bahasa Indonesia berarti Sapi yang terlepas dari ikatannya.  Kami pun mengarahkan pandangan kami ke alun- alun. Benar saja seekor sapi berlari menerjang apa saja yang ada dihadapannya kemudian sapi itu berlari menuju ke jalan raya sampai hilang tak terlihat lagi. Untunglah beberapa panitia akhirnya berhasil menangkap kembali sapi tersebut. Kami turun dari balkon dan memutuskan untuk pulang. Tapi tiba – tiba pandanganku tertuju pada sebuah pohon beringin disamping alun – alun. Aku teringat 10 tahun yang lalu. Aku pernah terjatuh karena menyandung akar dari pohon beringin itu. Waktu itu usiaku masih 10 tahun. Tepat pada hari raya Idhul Adha. Waktu itu ada seekor kambing yang terlepas dari ikatan, semua anak berlari menjauh dari kambing tersebut begitu pula aku. Sayangnya, aku menyandung akar pohon beringin yang mencuat keluar tersebut dan “gubraaaaak” aku terpelanting dan siku ku tergores sangat keras. Bekas lukanya pun sampai sekarang masih ada dan bekas luka inilah yang selalu mengingatkanku tentang indahnya Idhul Adha di desaku.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar: